Buah Pikiran di Tengah Break Siang

Dalam posisi duduk diam di tempat makan saya menulis postingan ini.
Sambil diam, saya mengamati lingkungan sekitar. Lingkunganku, Bandungku.
Satu hal yang terlintas dalam pikiran, ‘Kok berantakan ya?’
Ya, itu lah kondisi sekarang. Serba tidak karuan. Buang sampah sembarangan, berkendara layaknya pembalap ga tengok kiri kanan, asal selamat dan diri ini senang. Peraturan cuma sekedar tulisan, engga lagi diindahkan. Hmm, dibuat indah sih falam bentuk tulisan, tapi ga ada yang memperhatikan.
Lalu saya bergumam, ‘kok bisa ya kayak gini?’, Mencoba berpikir sejenak dan merenung. Lalu muncul sebuah jawaban, egoisme. Hmm, mungkin Anda akan berpikir, ya iyalah egoisme udah jelas. Sikap ngebahayain orang lain juga udah suatu wujud egoisme. Nah, egoisme yang saya maksud di sini adalah egoisme yang berakar jauh di awal.
Singkatnya,
Sang pemimpin menginginkan kesenangan untuk dirinya dan mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cost seminimal mungkin. Dari situ muncul yang namanya tuntutan yang dibarengi “hukuman” seandainya gagal terlaksan terhadap bawahan. Dari tuntutan muncul tekanan. Dari tekanan itu, hati mulai terkikus. Tenggang rasa berkurang. Manusia menjadi egosentris. Hanya berpikir tentang, “Bagaimana cara aku menyelesaikan tuntutan ini.”.
Nah, itu lah yang berujung pada egoisme yang kedua. Yang menghasilkan kondisi sekarang ini.
Gimana mungkin bisa peduli sama lingkungan? Peduli sama sesama manusia aja sekarang udah susah.
—- to be continued —-

Budayakan Mengantri Yuk!

Mengantri. Suatu hal yang melelahkan dan sangat dibenci oleh orang-orang, biasanya. Saya pun saat ini sedang mengantri dan bosan hehehehe.
Tapi saya coba melihat dari sisi yang lain. Ternyata mengantri tuh bermanfaat loh.
Gini, kebanyakan dari kita saat ini sudah terbiasa beraktivitas dalam kecepatan tinggi, demi efisiensi dan demi memenuhi tuntutan akan pekerjaan yang banyak sekali. Nah, saya mau coba melihat mengantri ini sebagai suatu momen untuk kita rileks sejenak, cukup berdiri diam mengikuti alur tanpa ada tuntutan apa pun.
Nah, selagi ngantri gitu problem yang muncul adalah biasanya kita bosan. Buat ga bosan gimana? Manfaatin aja waktu luang sambil ngantrinya tuh buat berpikir dan menuliskan tentang ide-ide atau hal-hal yang tidak terbayang, atau sulit untuk bisa terpikir saat hidup lagi penuh dengan aktivitas padat. Lalu kita tuangkan di gadget kita, misal.
Ngantri tuh bisa membuat pikiran kita tenang sejenak dan melihat luas ke berbagai sisi. Otak kita yang biasa terkukung berpikir sesuai rutinitas yang ada jadi bisa lebih bebas berimajinasi secara luas.
Jadi intinya mengantri itu bagus loh buat otak kita 😀
Selain itu, berpikir dan menulis saat mengantri juga membuat waktu mengantri tidak akan terasa lama. Tau-tau udah beres aja ngantrinya.
Sama kayak saya sekarang ini yang nulis postingan ini sambil ngantri. Ternyata udah beres lagi nih yang saya antriin, hehehehe.
So, jangan malas mengantri. Selain demi ketertiban, ini pun untuk kebaikan diri kita sendiri. Budayakan antri yuk! 🙂

Islam dan Indonesia – Sebuah Ironi

Agama Islam dan bangsa Indonesia, adalah dua hal yang memiliki keterkaitan yang panjang dalam sejarahnya. Kombinasi antara sebuah agama dan sekelompok manusia yang menjalankannya (Muslim Indonesia tentunya). Sebuah kombinasi yang melahirkan berbagai cipta dan karya.
Berdasar pada teori Arab, Islam masuk ke Nusantara pada abad 1 Hijriah, atau sekitar abad 7-8 Masehi. Agama Islam dibawa oleh pedagang-pedagang dari Saudi Arabia yang pada waktu itu sangat mendominasi perdagangan di area Asia Selatan hingga ke Tenggara. Karena syarat masuk yang ringan dan tidak menggunakan sistem kasta (seperti agama Hindu), Islam sangat mudah diterima oleh masyarakat. Waktu berjalan, proses asimilasi, akulturasi antara Islam dan budaya setempat terus berlangsung dan Islam semakin menyebar dan meluas.
Hingga akhirnya Indonesia merdeka pada abad ke-20 M, tepatnya tahun 1945, Indonesia telah menjadi negara yang didominasi oleh penganut  agama Islam. Hingga Indonesia mendapat julukan sebagai “Negara Islam Terbesar”. Hingga saat ini pun Jema’ah yang berangkat Haji ke Mekkah selalu didominasi oleh Jema’ah Haji dari Indonesia.
Oke, mulai dari sini saya mulai ragu antara harus berbangga atau bersedih. Lebih tepatnya saya bangga dan sedih sih. Saya sangat senang melihat Indonesia disebut sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, penyumbang Jema’ah Haji terbanyak dan sebagainya. Tapi di sisi lain saya pun sedih. Kenapa? Karena pada kenyataannya, pada praktiknya yang saya temui sehari-hari, nilai-nilai Islam sangat jauh dari apa yang orang-orang ini lakukan. Kenapa saya bisa bilang gitu? Oke, saya akui ilmu keislaman saya masih sangat rendah. Tapi satu hal yang saya pahami, Islam itu berasal dari kata “Salam”, artinya selamat. Atau berarti bisa kita artikan bahwa Islam ini adalah agama keselamatan yang mengajarkan perdamaian. Nah, mari kita lihat ormas-ormas Islam saat ini. Banyak yang melegalkan kekerasan. Sangat bertentangan dengan yang Nabi Muhammad SAW contohkan.
Islam pun mengajarkan kita untuk saling berbagi. Tapi coba kita lihat, jangankan berbagi, partai yang mengaku berbasis Islam saja kadernya melakukan korupsi, hanya memikirkan diri sendiri.
Lalu antara umat Islam sendiri pun masih banyak yang berselisih. Memiliki sedikit perbedaan, langsung mengkafirkan, tidak terima, akhirnya peryengkaran dan keributan. Boleh lah kita masing-masing punya persepsi tentang yang kafir itu yang seperti apa. Tapi jangan lah itu digunakan untuk men-‘judge’ orang lain kafir. Gunakanlah standard-standard itu sebagai pedoman bagi diri kita supaya terhindar dari kafir itu. Ingat, yang tau siapa yang kafir dan siapa yang berimana hanyalah Ia Yang Maha Tahu, Allah SWT. Kita jangan mendahului kekuasaannya.
Masyarakat Indonesia nampak sangat alergi dengan yang namanya perbedaan. Adanya perbedaan selalu membuat diri merasa was-was. Jangan lah begitu. Syukuri adanya perbedaan. Itu lah letak kekayaan kita. Indonesia yang penuh warna. Bhineka Tunggal Ika.
Balik lagi ke topik awal, Islam dan Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu ada sebuah penelitian yang disusun oleh peneliti-peneliti dari George Washington University. Mereka merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam yang mampu tercermin di kehidupan sehari-hari, bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Setelah itu mereka melakukan survei ke 200 negara dan mengecek, negara manakah yang paling Islami? Hasilnya mengejutkan. Selandia Baru muncul di peringkat satu sebagai negara yang masyarakatnya menjalankan nilai-nilai perilaku Islami. Sedangkan Indonesia? Kita harus berpuas diri di peringkat 140. Bagaimana dengan negara-negara Arab lainnya? Posisinya tidak beda jauh dengan kita, mereka ada di rentang posisi 100-200. Nampaknya mereka pun memiliki masalah yang sama dengan kita. Terlalu bangga dengan label Islam yang dimiliki sampai ‘melupakan’ Islam itu sebenarnya apa.
Benar-benar sebuah ironi jika masyarakat kita masih menyebut diri sebagai negara Islami sedangkan perilaku banyak warganya yang mengaku muslim masih seperti yang saya sebutkan di atas.
Sampai kapan kita mau terus berbangga diri sambil terus menjalankan ironi ini?