Apa Yang Salah? Bagaimana Solusinya? | Transformative Learning Universitas Padjadjaran

Hallo dunia!

Kemarin saya baru saja melalui hari yang cukup panjang. Tidak deng, hari tetap 24 jam, tidak lebih dan tidak kurang. Hanya saja saya menjalani aktivitas yang cukup panjang. Bersama teman-teman perwakilan BEM dan BPM Fakultas lain se-Unpad, juga Dekan + jajarannya sekaligus Manajer Kemahasiswaan, dan tak lupa tokoh utamanya yaitu pihak Rektorat Universitas Padjadjaran, kami melakukan diskusi bebas yang serius, bebas, tapi santai di Unpad Training Center, Jl. Ir. H. Juanda.

Dengan judul utama “Tindak Lanjut Pengembangan Kurikulum Transformatif”, kami pun memulai diskusi dengan mereview kembali hasil dari pertemuan yang lalu. Di mana, inti dari pertemuan yang lalu adalah, dibutuhkannya kurikulum terintegrasi antara akademik, penelitian, dan pengabdian, yang dibungkus dengan corak ke-Unpadan. Dan ini diharapkan bisa diwujudkan melalui Transformative Learning Universitas Padjadjaran.

Kok bisa sampe terpikir seperti itu? Background-nya apa? Benarkah kita membutuhkan itu?

Lalu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, didiskusikan lagi lah masalah-masalah yang ada di Unpad ini.

Beberapa di antaranya:

1. Mahasiswa Unpad rendah diri

2. Unpad selalu dianggap nomor dua setelah barisan ITB, UI, dan UGM

3. Kecintaan terhadap Unpad kurang

Masih banyak sebenarnya masalah-masalah yang tadi dibahas. Tapi yang saya highlight tiga masalah di atas.

Mari kita bahas satu-satu.

Soal mahasiswa Unpad rendah diri dan dinomorduakannya Unpad dibanding ITB, UI, UGM, ini bisa kita bahas sekaligus.

Sering kali, mahasiswa Unpad jika disandingkang dengan anak UI atau ITB, biasanya dia kalah dominan dalam diskusi kelompok dan sejenisnya. Sesungguhnya saya ga tau ini benar atau salah, karena tidak ada data yang valid juga. Daya yakin ga semua mahasiswa Unpad seperti itu. Tapi oke lah, kita iyakan saja dulu. Lalu, Unpad ini sudah biasa dinomorduakan setelah UI, ITB, dan UGM. Di media nasional, pembuat opini publik dari kalangan akademisi biasanya yang sering muncul adalah dari UI dan ITB. Sangat jarang Unpad muncul. Kok bisa sih? Apa kah emang ada algoritmanya yang mengharuskan ke UI dan ITB dulu, baru Unpad? Entah lah. Katanya sih tidak ada. Konon, ini terjadi karena Unpad out of reach jika dimintai soal seperti itu. Ada pula cerita seperti ini, saat Unpad dimintai untuk berpendapat, jawabannya adalah seperti ini, “Kenapa tidak UI atau ITB saja yang diminta?”. Hmm.. sudah nampak bahwa diri kita pun menomorduakan diri.

Coba diusut-usut, ternyata ini sudah berakar sejak para mahasiswa Unpad masih menjadi siswa di SMAnya. Unpad memang selalu menjadi PT terfavorit se-Indonesia, baik itu SBMPTN mau pun SNMPTN. Tapi ternyata banyaknya itu tidak lepas dari rasa ketidakpercayaan diri mereka untuk memilih UI, ITB, dan UGM. Karena merasa yang memilih UI, ITB, UGM adalag teman-teman dengan nilai yang lebih tinggi, maka dia dalam tanda kutip “mengalah” untuk masuk ke Unpad.

Jujur, hal ini sangat tidak baik untuk mental seseorang. Ini terbawa. Bahkan hingga setelah masuk. Dia merasa bahwa dia memang lebih rendah dari UI, ITB, atau pun UGM. Oke lah jika dia sewaktu masuk merasa seperti itu. Tapi harusnya saat lulus, dia sudah bisa lebih berani dan percaya diri. Tapi kenyataanya, saat lulus, rasa inferior itu masih ada. Berarti proses yang dijalani saat di kampus gagal dong untuk menghilangkan inferioritas itu? Soo, kurikulum ini ada yang salah.

Berikutnya, rasa kecintaan kurang. Bicara soal cinta, itu membutuhkan proses. Tidak tumbuh begitu saja. Rasa mengenal yang begitu kuat akan menumbuhkan rasa cinta yang diikuti dengan rasa ingin memiliki. Jika seseorang kurang cintanya terhadap Unpad, maka berarti ada yang salah dengan proses pengenalannya. Nah, itu lah mengapa dirasa perlu ada kurikulum baru yang mengakomodir semua itu.

Di situ Kurikulum Transformative Learning muncul, dengan Tagline andalan: H.I.T.S.

Dengan mengkolaborasikan akademik dan non-akademik. Mewujudkan integrasi antara pendidikan, penelitian, dan pengabdian, juga pendidikan karakter yang diharapkan mampu mengembangkan softskills mahasiswa demi terwujudnya output pemimpin-pemimpin bangsa dari Unpad.

Banyak pihak mendukung program ini. Tapi yang menolak pun tidak kalah banyak. Wajar saja, karena ini memang benar-benar merubah sistem pendidikan di Universitas Padjadjaran. Banyak yang harus dikorbankan. Tapi selama itu untuk kebaikan yang lebih besar, mengapa tidak?

Tapi yang jelas, di kalangan yang tidak terlalu pro tapi tidak kontra juga, ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan:

Sudah tepat kah ini?

Apa kah ini solusi yang paling baik?

Sejauh yang saya tau, persiapan kurikulum ini memang belum 100%. Tapi jika kita lihat visinya, jelas ini menuju pada kebaikan. Mari kita lihat saja.

Sebagai orang yang bisa melihat dan mengawasi, mari kita kawal perubahan dan jalannya kurikulum baru ini. Jangan dulu apriori lalu menolak mentah-mentah. Jangan menolak akan datangnya perubahan. Jangan terpaku dengan kebiasaan yang lalu, yang namanya perubahan jelas akan berbeda dengan yang lalu. Anggap lah perubahan ini ibarat hijrah untuk ke tempat yang lebih baik.

Aamiin.

Setelah beberapa tahun berjalan, mari kita evaluasi bersama. Kita lihat output-nya. Baru lah kita bisa menilai.

Yuk, semangat membangun bersama ke arah yang lebih baik 🙂

Bismillah.

Sebuah Pemikiran

Sedang memikirkan sesuatu, lalu ingin menuliskannya. Itu lah kondisi saya saat ini.
Walaupun saya bingung juga dari mana harus memulainya, hahahaha.
Maaf.
Oke. Mari kita serius.

Manusia dan hubungan. Lagi-lagi saya akan menulis tentang hubungan antara manusia. Tidak akan pernah saya bosan membahas ini, karena manusia itu adalah makhluk yang unik yang sangat berbeda tiap individunya. Jadi hal-hal baru untuk dikritisi tuh selalu saja ada tanpa pernah ada habisnya.
Belakangan ini saya dirisihkan oleh berbagai konflik antar manusia di sekitar saya di lingkungan saya di dunia saya. Dan sebagai orang yang tidak terlibat di dalam konflik pun saya turut merasakan dampak dari konflik tersebut. Jujur saja hal itu sangat-sangat tidak menyenangkan. Membuat hidup ini terasa jauh dari kata damai *sedikit berlebihan, tapi sedikit banyak ini benar*.
Berujung pada munculnya pertanyaan-pertanyaan,
“Apa sih susahnya berdamai saja dengan keadaan?”
“Kalo si A salah, ya sudah toh ingatkan saja? Kalo tetap tidak berubah, ya sudah toh maklumi saja?”
“Kalo si A menghardikmu, ya sudah biarkan saja, toh dia yang membenci, bukan kita?”
“Kalo kamu tidak salah, tak usahlah ribut-ribut membuktikan kamu benar, toh Tuhan itu MahaTahu, MahaAdil?” *tamparan untuk diri*

Daaan, berbagai pertanyaan lainnya.
Setiap kali konflik antara manusia muncul, pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Ditambah satu pertanyaan lagi,
“Ga pengen gitu buat hidup damai aja tanpa konflik?”
Hmmm. Manusia… Makhluk paling sempurna yang diciptakan dengan akal, pikiran, hati nurani, dan lengkap dengan egoisme dirinya..

Satu hal,
Satu hal yang sudah mulai saya camkan pada diri saya adalah: Jangan pernah sekali-kali kamu merasa lebih benar daripada orang lain.
Merasa lebih benar akan menimbulkan keangkuhan. Keangkuhan akan akan berdampak pada kebencian dari pihak yang lain. Saat keangkuhan dan kebencian bertemu, konflik hanya akan tinggal menunggu waktu.
Yaa ini hanya contoh sempitnya sih.
Dan ini hanyalah suatu gagasan pikiran yang terlintas di kepala saya yang sudah lelah dengan segala ketidakdamaian di dunia ini.

Semoga saya bukan termasuk orang-orang yang menimbulkan keributan. Semoga saya bisa untuk tidak menebarkan benci dan terus hanya menebarkan kasih dan juga sayang di dunia ini.
Bismillah~

Hand Over A Task | Sebuah Opini

“On n’est jamais servi si bien que par soi-même… If you want something done right, do it yourself.” – Charles-Guillaume Étienne

Selamat siang dunia!
Kembali lagi di sini saya menulis. Bukan tulisan apa-apa, hanya opini pribadi, hehe.

Seketika teringat akan kutipan terkenal dari seorang seniman ternama, Charles-Guillaume Ettienne. Dan seketika pula menjadi ingin berkomentar tentang hal itu, hehe.

Kutipan itu bernada egois. Sangat egois. Ego-centris, goal-oriented. Team-work nomor sekian. Sebagian besar dari diri saya menolak untuk menerapkan ini, walaupun sebagian lainnya meyakini bahwa hal ini benar adanya.

Meskipun begitu sejak beberapa tahun terakhir saya dari seorang yang sangat individualis telah mencoba untuk menjadi makhluk yang lebih sosialis. Saya mendelegasikan tugas, transfer kekuasaan, bermusyawarah mendengarkan pendapat orang lain dan sebagainya.
Saya telah menekan sisi individualis saya.
Walaupun sebenarnya saya punya alasan yang masuk akal terkait individualisme saya ini (bagiku). Menurut saya, saat saya menyerahkan orang lain untuk melakukan hal yang terkait dengan saya, itu sama saja dengan membiarkan orang lain menentukan apa yang akan terjadi pada dirimu sendiri. Itu sama saja dengan menggantungkan diri terhadap orang lain. Semakin banyak hal yang kamu biarkan orang lain untuk melakukannya, maka semakin banyak orang yang menjadi tempat kamu untuk bergantung. Dan bergantung terhadap orang lain tuh tidak nyaman buatku, hehe.

Anyway, itu masa lalu. Sekarang saya sudah memiliki pandangan lain akan hidup. Hidup ini terlalu singkat untuk kamu habiskan semuanya menyelesaikan segalanya sendiri. Hidup ini akan jauh lebih menyenangkan saat kamu bisa berbagi dan saling terkoneksi dengan banyak orang. Sungguh, hehe.

Namun, satu aturan yang berlaku di dalam hidup, harus selalu kamu ingat: Jangan pukul rata semua hal.
Yap, tidak semua orang bisa kita jadikan tempat untuk hand over suatu tugas. Tidak semua orang mau atau pun capable untuk itu. Finding the right one is a mandatory, otherwise the only thing you’ll get is disappointment.

Bukan berniat untuk bersikap egois lagi. Tapi memang bijaksana menurut saya untuk mengenal lebih dulu individu yang akan kamu percayai itu. Bahkan jika kamu ingin coba-coba untuk percaya pun kamu harus melihat kondisi terlebih dahulu. Karena tidak semua hal bisa diperbaiki setelah itu terjadi.

So, daripada gambling hand over tugas yang irreversible kepada orang yang tidak kamu kenal, lebih baik lakukan sendiri. Lakukan sebaik-baiknya sesuai dengan yang kamu inginkan.

If You Want to Go Fast, Go Alone. If You Want to Go Far, Go Together

Kutipan yang saya jadikan judul di atas tentu sudah umum dan sudah sering teman teman dengar. Yaa, itu emang kutipan yang udah pasaran terdengar di mana mana. Tapi izinkan saya buat menulis, berkomentar tentang kutipan itu, hehe.
Ok. Dimulai dari saya yang sedang meluruskan badan di kasur kamar yang nyaman setelah seharian belajar bersama seorang teman yang sangat menyenangkan.
Read More »

Desakan Keberadaan Tujuan

Hidup ini seperti roller-coaster. Dinamis. Ada momen saat kita di atas, ada momen saat kita di bawah. Ada saatnya kita semangat, ada saatnya kita malas.
Saat posisi lagi di atas, lagi semangat, ya bagus sih. Grafik hidup bakal positif terus, aktivitas harian bakal dilalui dengan kegiatan yang produktif.
Nah, yang jadi masalah adalah saat kita lagi di bawah. Lagi malas. Gawat loh itu. Waktu bakal dengan mudah dilalui dengan sia-sia. Sangat sangat sangat tidak produktif. Saya berkali kali mengalami fase itu. Dan sungguh itu membuat diri saya kesal.
Hal itu bisa disikapi sesungguhnya. Belakangan ini saya mencoba untuk menetapkan target dan tujuan dalam setiap langkah saya. Karena yang saya lihat, malas tuh karena hal yang diimpikan untuk dikejar tidak cukup kuat untuk menanggulangi lelah tubuh yang dirasakan. Oleh karena itu lah perkuat impian itu. Perjelas langkahnya. Tarik dari masa depan ke langkah kini. Tentukan hal-hal apa saja yang harus dilakukan dalam meraih impian itu. Runutkan mulai dari awal sekali di masa kini. Bahlan kalo bisa setiap langkah kaki kita pun itu harus sesuai dengan rencana dalam meraih impian itu.
Kalo plan tujuan hidup itu sudah dirancang sedemikian rupa dengan sangat jelas di pikiran kita, rasa lelah yang melanda, kemalasan yang menyiksa itu pasti bisa kita kalahkan.
Dengan tujuan hidup yang jelas, negatifnya diri itu bisa kita lawan.
So, rencanakanlah segala sesuatu yang akan dilakukan itu dengan mendetil. Dan ingat, sertakan Allah SWT dalam setiap langkah menuju impian itu.
InsyaAllah yang kita impikan bisa kita capai. Aamiin.

Fitur Preview di Social Messaging – Sebuah Opini

Hallo. Kawans, kalian tau kan fitur preview yang ada di social messaging? Itu loh yang bikin kita bisa jadi baca pesan yang masuk tanpa perlu tercatat sudah membaca. Fitur membaca sendiri kalo di BBM ada tanda R, kalo di WhatsApp checklist dua warna biru, dan kalo di Line ada tulisan Read. Nah, fitur preview ini memungkinkan kita baca tanpa muncul tanda-tanda itu (di Line khususnya).
Tentang fitur itu sebenernya saya ga kontra. Saya senang dan merasa sangat terbantu dengan adanya itu. Jadi lebih praktis juga, ga perlu buka lock screen, udah bisa baca pesan masuk sekaligus membalasnya. Tapi, yaa memang tidak ada hal yang 100% baik, kecuali Al-Qur’an yang dirurunkan oleh Allah SWT via malaikat Jibril. Fitur yang baik pun kalo tidak digunakan secara bijak bisa menyebabkan hal yang kurang baik loh, menurutku.
Apa yang ga baiknya di fitur preview Line? Fitur itu bikin orang jadi cuma baca message-nya doang, tanpa membuka, apa lagi ngejawab. Hmm, gini, bukan bermaksud memaksakan kehendak dan meminta semua orang untuk membuka dan membalas. Ga perlu kok. Tapi tau kah kamu bahwa seseorang yang ngirim pesan sama kamu dia tuh ngirim dengan suatu ekspektasi. Pasti. Ekspektasi apa kah itu? Seengganya pasti dia berekspektasi/berharap pesannya itu sampai dan dibaca oleh orang yang dia kirim. Nah, adanya fitur preview dan sikap yang tadi saya sebutkan sebelumnya itu bikin ekspektasi ini tidak terpenuhi. Padahal kepastian pesan yang disampaikan tuh dibaca sama orang yang dikirim tuh perlu loh. Entahlah, mungkin temen-temen ada yang ga setuju sama pendapat saya, tapi saya sih merasa seperti itu.
Saya lebih milih tanda tulisan ‘Read’ itu muncul tanpa ada balasan, dibanding tulisan ‘Read’ yang ga ada sama sekali. Mungkin bakal ada rasa bete sedikit kalo cuma di-read doang (apa lagi kalo yang kita punya pengharapan lebih terhadap orang itu, hehehe). Tapi itu jauh lebih baik dibanding ga ada tanda ‘Read’ sama sekali.
Why? At least in the end I know that my message is delivered to them. And I know that she/he read my message. That’s enough.