12 September 2016 | Eid Mubarak dan Kesempatan

Hallo, Assalamu’alaikum!

Selamat hari Raya Idul Adha bagi semua orang yang merayakan :).

Semoga spirit pengorbanan dari Idul Adha yang ditunjukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail a.m.s bisa tertularkan ke dalam diri kita. Aamiin.

Dan semoga pula, kita bisa mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Idul Adha berikutnya di tahun-tahun yang akan datang :).

Read More »

Siang Hari di Ruang Kuliah Jatinangor

Hallo, selamat siang!

Fadhal kembali menulis di sini dan sekarang saya sedang duduk di ruang kuliah. Hmm, lebih tepatnya saya sedang kuliah sekarang. Daan jika kalian berpikir saya melanggar aturan karena memegang gadget di tengah kuliah, saya mau meluruskan terlebih dahulu. Di kuliah ini saya bisa bebas melakukan apa pun selama saya tidak mengganggu jalannya kuliah. Itu adalah aturan di antara kami dengan sang dosen pengajar. Dan saya pun masih menaruh atensi saya terhadap jalannya kuliah, saya masih menyimak dengan kedua telinga saya walaupun jari-jari saya sibuk berketukan dengan tuts keyboard di gadget saya. Hehe.

Read More »

Hand Over A Task | Sebuah Opini

“On n’est jamais servi si bien que par soi-même… If you want something done right, do it yourself.” – Charles-Guillaume Étienne

Selamat siang dunia!
Kembali lagi di sini saya menulis. Bukan tulisan apa-apa, hanya opini pribadi, hehe.

Seketika teringat akan kutipan terkenal dari seorang seniman ternama, Charles-Guillaume Ettienne. Dan seketika pula menjadi ingin berkomentar tentang hal itu, hehe.

Kutipan itu bernada egois. Sangat egois. Ego-centris, goal-oriented. Team-work nomor sekian. Sebagian besar dari diri saya menolak untuk menerapkan ini, walaupun sebagian lainnya meyakini bahwa hal ini benar adanya.

Meskipun begitu sejak beberapa tahun terakhir saya dari seorang yang sangat individualis telah mencoba untuk menjadi makhluk yang lebih sosialis. Saya mendelegasikan tugas, transfer kekuasaan, bermusyawarah mendengarkan pendapat orang lain dan sebagainya.
Saya telah menekan sisi individualis saya.
Walaupun sebenarnya saya punya alasan yang masuk akal terkait individualisme saya ini (bagiku). Menurut saya, saat saya menyerahkan orang lain untuk melakukan hal yang terkait dengan saya, itu sama saja dengan membiarkan orang lain menentukan apa yang akan terjadi pada dirimu sendiri. Itu sama saja dengan menggantungkan diri terhadap orang lain. Semakin banyak hal yang kamu biarkan orang lain untuk melakukannya, maka semakin banyak orang yang menjadi tempat kamu untuk bergantung. Dan bergantung terhadap orang lain tuh tidak nyaman buatku, hehe.

Anyway, itu masa lalu. Sekarang saya sudah memiliki pandangan lain akan hidup. Hidup ini terlalu singkat untuk kamu habiskan semuanya menyelesaikan segalanya sendiri. Hidup ini akan jauh lebih menyenangkan saat kamu bisa berbagi dan saling terkoneksi dengan banyak orang. Sungguh, hehe.

Namun, satu aturan yang berlaku di dalam hidup, harus selalu kamu ingat: Jangan pukul rata semua hal.
Yap, tidak semua orang bisa kita jadikan tempat untuk hand over suatu tugas. Tidak semua orang mau atau pun capable untuk itu. Finding the right one is a mandatory, otherwise the only thing you’ll get is disappointment.

Bukan berniat untuk bersikap egois lagi. Tapi memang bijaksana menurut saya untuk mengenal lebih dulu individu yang akan kamu percayai itu. Bahkan jika kamu ingin coba-coba untuk percaya pun kamu harus melihat kondisi terlebih dahulu. Karena tidak semua hal bisa diperbaiki setelah itu terjadi.

So, daripada gambling hand over tugas yang irreversible kepada orang yang tidak kamu kenal, lebih baik lakukan sendiri. Lakukan sebaik-baiknya sesuai dengan yang kamu inginkan.

31 Juli 2015 – 13 Juni 2016

Hai. Selamat pagi!
Saya awali pagi ini dengan merubah tampilan blog saya yang memang sudah saya rencanakan sebelumnya. Walaupun sebenarnya saya merencanakan ini untuk dilakukan saat usia blog ini satu tahun nanti, yaitu tanggal 31 Juli 2016.

Tapi setelah saya pikirkan kembali, perubahan itu tidak perlu dilakukan sambil menunggu momen untuk berubahnya. Tak perlu tunggu datangnya momen itu, tapi ciptakanlah momen itu. Dan inilah saya yang menciptakan momen itu di hari ini tanggal 13 Juni 2016.

“Don’t wait for it, but create it.”, the wisdom once said, hehe.

Anyway, ada satu pesan moral di pagi hari ini yang menjadi reminder juga termasuk bagi diri saya,

“A lack of communication breeds assumptions of what the other’s thinking or feeling; and assumptions are, more often than not, incorrect.” – Misty Lynn Walker

Yap, itulah mengapa kita harus berkomunikasi dengan baik. Untuk menghindarkan prasangka-prasangka yang justru malah akan merusak hubungan itu sendiri.
Namun ingat satu hal lagi,

“The biggest communication problem is we do not listen to understand. We listen to reply.”

Ok, that’s all guys.
Selamat menjalani hari! 🙂

Transformasi 05 ke 08, Solusi Yang Tidak Solutif

Di kota Bandung sejak bulan November ini ada perubahan yang terjadi di dunia trabsportasi publik, tepatnya di angkutan umum (angkot). Trayek angkot 05 dihapuskan, diganti dengan trayek angkot 08 dengan jalur yabg sedikit dimodifikasi.
Sebuah keputusan yang menarik, mengingat angkot 05 ini banyak dikeluhkan oleh orang-orang. Dan keluhannya tuh bermacam-macam. Jalur tidak sesuai, tarif yang dimahalkan, hingga isu premanisme. Puncaknya hingga ada kejadian pemukulan penumpang oleh supir angkot.
Hmm, kalo menilik background-nya, sudah jelas kan yang bermasalah tuh supirnya, bukan angkotnya, bukan juga rutenya.
Pemerintah pun paham akan hal itu. Maka dia menetapkan supir-supir angkot 05 akan disebar ke trayek-trayek lain.
Nah, keputusan ini lah yabg menurut saya kurang tepat. Supir-supir ini kalo disebar nanti malah nyebabin kelakuan buruk 05 ini nyebar ke angkot-angkot lain dong. Menurutku.
Selain itu, barusan saya lihat di jalan, angkot 08 sendiri kelakuannya engga lebih baik tuh dari 05 tuh.
So, bedanya apa?
Malah memperburuk kalo misalkan yang saya takutkan menyebar itu benar.
Ya semoga saya salah dan semoga keputusan pemerintah lah yang tepat.
Saya hanya berharap yang terbaik untuk semua pihak, untuk kota ini, untuk Indonesia.

Mengajari Tanpa Menggurui dan Mengingatkan Tanpa Menghakimi

Dalam berkehidupan kita berinteraksi antar individu, satu sama lain. Di dalam interaksi itu kita saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Kehidupan adalah proses belajar, di mana pada awalnya kita manusia yang terlahir di dunia tanpa pemahaman apa-apa hingga akhirnya via interaksi antar sesama itu lah kita bisa tumbuh dan berkembang.
Dalam interaksi ini saya akan coba membahas dua contoh interaksi yang menurut saya berperan besar dalam proses belajar kita sebagai manusia.
Apa itu? Saling mengajari dan saling mengingatkan.
Dua hal itu sangat penting dalam tumbuh kembang manusia. Karena dengan mendapatkan pengajaran, seorang manusia akan mendapat tambahan ilmu dan pengetahuan yang bisa digunakan sebagai bekal dalam bertindak ke depan. Dan dengan mendapatkan peringatan, seorang manusia jadi bisa tahu koridor mana yang bisa dia lewati, batas-batasannya apa saja. Baik dan benar, buruk dan salah, bisa dia ketahui dengan adanya yang mengingatkan.
Tapi seringkali, proses interaksi dua hal tadi tidak berjalan sesuai harapan. Output-nya gagal. Dikarenakan satu hal, sakit hati.
Saat seseorang sakit hati, akal sehatnya akan terblokir dan tidak akan bisa menerima apa yang orang lain sampaikan.
Apa sih yang bikin sakit hati tuh? Menurut saya yang senang berspekulasi ini, yang bikin sakit hati tuh adalah cara penyampaian dari yang mengajari dan yang mengingatkan. Manusia adalah makhluk lembut yang peka dalam berperasaan. Dia punya ego juga. Dia tidak senang direndahkan, disalahkan, atau pun dipermalukan.
Sering kali saat mengajari sesuatu, kita lupa diri dan malah menggurui. Saat mengingatkan, kita sering tidak mengkontrol diri dan malah menghakimi.
Kita harus arif dan bijak. Jaga perasaan orang lain. Posisikan diri sebagai rekan belajar saat mengajari, bukan sebagai guru yang menggurui seolah menguasai segalanya.
Begitu pula saat mengingatkan. Gunakan kata-kata sehalus mungkin yang tidak akan menyakiti perasaannya. Hindari kalimat-kalimat judgemental. Ganti penggunaan kata “kamu salah” dengan kata “akan lebih baik jika kamu …”. Simple nampaknya, tapi perbedaannya sangat lah signifikan. Selain itu lihat juga situasinya. Jangan pernah mengingatkan orang saat orang itu salah di depan orang banyak. Itu hanya akan membuatnya merasa dipermalukan. Tunggu lah saat dia sedang sendiri, baru lah kamu datangi dia untuk mengingatkan.

Nasihatilah diriku di kala aku sendiri. Jangan kau nasihati aku di tengah keramaian. Karena nasihat di muka umum adalah bagian dari penghinaan yang tak suka aku mendengarnya. Jika engkau enggan dan tetap melanggar kata-kataku, maka jangan menyesal jika aku enggan menurutimu. – Imam Asy Syafi’i

Yang saya paparkan di sini adalah sebuah pemikiran yang mencuat di kepala saya. Entah benar atau tidak, tapi saya yakin ini benar kok, InsyaAllah, hehe.
Saya berkata seperti ini bukan karena merasa saya sudah seperti itu. Saya masih banyak khilaf dan belum mampu dengan sempurna melaksanakan ini. Saya menulis ini untuk berbagi sekaligus menjadi self-reminder juga untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi :).
Satu hal lagi yang saya yakini, jadilah manusia yang arif dan bijak, supaya engkau menjadi manusia yang berbahagia.

DEBAT | Bagus Saat Bermanfaat, Hindari Jika Sia-Sia

Tulisan ini saya buat di depan laptop sembari menikmati hari Minggu pagi. Berusaha produktif dengan menulis postingan ini, berharap bisa bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya :).
Ngescroll timeline di Line. Buka salah postingan official account (Goal ID misal), klik bagian comments. Maka kamu bakal menemukan puluhan, ratusan, bahkan (bisa jadi) ribuan orang berkicau beradu pendapat di situ.
Apa itu? Ya itu adalah satu contoh sederhana dari debat. Suatu aktivitas bertukar pendapat atas suatu isu yang ada.

KBBI:

debat/de·bat//débat/(n) Pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu haldengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing

.

Lantas bagus ga sih debat tuh? Buat saya pribadi debat tuh bagus kok, bagus banget malah. Asal di tempat dan dengan cara yang benar, hehehe.
Sedikit bercerita dulu tentang diri saya. Saya adalah seorang ENTJ yang bisa berubah menjadi INTJ tergantung siapa yang saya hadapi. Atau tepatnya, saya ini seorang ekstrovert yang bisa menutupi keterbukaannya dengan menjadi introvert. Ga jelas ya? Hahaha. Jadi, dalam praktisnya saya saat berinteraksi dengan orang lain akan suatu hal, saya akan melakukan assesment singkat terlebih dahulu. Apa yang saya nilai?
– Yang pertama, apa kah obrolan yang saya lakukan ini akan bermanfaat dan berguna untuk orang yang saya sedang berdiskusi ini?
– Yang kedua, apa kah obrolan ini bisa bermanfaat untuk orang lain di luar saya dan teman diskusi saya ini?
– Yang ketiga, jika poin pertama dan kedua jawabannya tidak, baru saya melihat yang ini. Bermanfaat kah untuk diri saya sendiri? Jika iya, seberapa besar kah manfaatnya? Lebih bermanfaatkah jika dibandingkan dengan saya melakukan hal yang lain? Jika jawabannya adalah tidak, tentu saya memilih untuk diam, tidak angkat bicara dan memilih lakukan hal yang lain.
Theorically seperti itu. Contoh kasus singkatnya seperti ini:
Saya, Fadhal (F), memiliki kesalahpahaman dengan A yang menyebabkan F dan A bertengkar. Lalu datang B yang bertanya kepada F, mengapa nampak merenggang dengan A . Maka hal yang akan F lakukan adalah, melihat apa kah cerita antara F dan A ini memberikan manfaat untuk B? Karena ditakutkan dengan cerita justru malah membuat B terbebani. Bisa jadi kan. Lalu F pun akan melihat lagi, dengan bercerita pada B, apakah dapat membuat hubungan A dan F membaik? Atau jangan-jangan ga ada gunanya dan malah bisa jadi membuat cerita antara A dan F menyebar lalu memperkeruh keadaan? Gawat kan kalo malah itu yang terjadi.
Setelah selesai proses assesment singkat itu, baru deh F memutuskan akan bercerita atau tidak.

Nah, dari cerita tentang diri saya, saya coba balik kembali ke debat. Debat pun begitu. Lihat dulu manfaatnya. Cek risk vs benefit. Kalo benefit lebih tinggi, oke. Kalo risk yang lebih tinggi, no. Terlebih lagi berdebat itu sangat memakan perasaan, energi, dan yang utama adalah waktu. Waktu bakal terbuang percuma kalo debatnya sia-sia. Waktu tuh ga bakal bisa kembali, gunakan untuk hal yang paling bermanfaat.
Liat bahasannya, kalo udah beres debat dan menang pendapat, output-nya apa ya? Kalo misal, debat untuk sekedar mempermasalahkan telur duluan atau ayam duluan ya apa gunannya. Memang kalo ternyata telur duluan baru ayam, kamu mau apa? Ada kah yang bisa kamu lakukan? Banyak deh hal yang lebih bermanfaat untuk dilakukan dibandingkan ngeributin hal semisal itu yang merupakan masalah penciptaan alias suatu rahasia Allah SWT.
Jika kita terus terusan terlibat debat dalam suatu hal yang ga berguna, berarti kamu salah. Sama salahnya bahkan lebih salah lagi dibandingkan dengan orang yang memulai perdebatan yang beranggapan bahwa menentukan telur duluan atau ayam duluan adalah hal terpenting di dunia.
Selain melihat isu yang dibahas, lihat juga dengan siapa kita akan berdiskusi membahas isu tersebut. Jangan lah kamu terbawa untuk berdebat mengenai fenomena mutasi pada suatu populasi dengan mempergunakan asas Hardy-Weinberg, sementara lawan bicaramu adalah seorang anak kecil berusia 6 tahun yang tertarik dengan mutant setelah baru saja menonton film Teenage Mutant Turtle Ninja (TMNT). Salah besar kamu. Hindari perdebatan dengan orang yang tidak menguasai isu yang diperdebatkan.
Seringkali kita terlibat dalam perdebatan karena terbawa emosi, gengsi. Terkuasai oleh perasaan ingin menjaga harga diri dalam mempertahankan pendapat.
Tapi coba hey, tahan emosinya, tahan gengsinya. Pake akal sehatnya. Bermanfaat kah?
Merupakan suatu kearifan jika kita berhasil melakukan kontrol diri dan menghindari rasa marah atas suatu kebodohan.

Diam bukan berarti kalah bukan? 🙂

Buah Pikiran di Tengah Break Siang #Lanjutan


Satu hal yang saya yakini, saat tidak ada rasa peduli antara satu sama lain, antara setiap komponen, maka kehancuran adalah suatu keniscayaan yang akan terjadi. Mengapa? Karena rasa peduli adalah yang menciptakan harmoni dalam kehidupan ini. Sebab sudah hal yang mutlak bahwa setiap komponen yang ada di dunia ini saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Sesuai dengan hukum gravitasi, setiap benda yang bermassa memiliki gaya tarik masing-masing.
Saya tidak akan membahas terlalu dalam tentang hal itu, saya akan kembali ke permasalahan utama: Kehancuran Lingkungan.
Anyway, masalah ini sesungguhnya adalah suatu hal yang kompleks dan multidinensional. Tapi saya mohon izin untuk membahasnya dari satu sisi yaitu egoisme yang merupakan akar masalah yang saya jelaskan pada postingan sebelumnya.
Seandainya ada kesadaran dari dalam diri bahwa kita ini adalah seaama makhluk Tuhan yang setara di hadapan-Nya, tentulah ga bakal ada yang egois. Karena keegoisan itu muncul karena perasaan “merasa lebih” dari orang lain. Lebih berhak lah, lebih tinggi lah, lebih cocok lah, dll. Coba kalo kita merendahkan hati kita, memandang bahwa kita semua ini sama sebagai sesama makhluk Tuhan yang saling membutuhkan dan harus saling bahu-membahu satu sama lain, lalu menerapkan prinsip dalam hidup untuk terus saling berbagi, tentu deh ga bakal ada tekanan yang merupakan efek dari keegoisan kayak yang saya bahas di postingan saya yang sebelumnya.
Saat kepedulian antar sesama terbentuk, lambat laun kepedulian pada makhluk lain pun akan tumbuh, pasti. Kepedulian terhadap lingkungan akan muncul.
Harmoni pun tercipta, dunia seimbang, lingkungan hidup terjaga.
Hmm. Mungkin tulisan ini bisa jadi nampak menggelikan dan nampak naif di mata orang lain. Tapi biarlah. Ini pandangan saya yang didasari oleh impian saya.
Biarlah, biarkan saya bermimpi tentang impian saya.

Buah Pikiran di Tengah Break Siang

Dalam posisi duduk diam di tempat makan saya menulis postingan ini.
Sambil diam, saya mengamati lingkungan sekitar. Lingkunganku, Bandungku.
Satu hal yang terlintas dalam pikiran, ‘Kok berantakan ya?’
Ya, itu lah kondisi sekarang. Serba tidak karuan. Buang sampah sembarangan, berkendara layaknya pembalap ga tengok kiri kanan, asal selamat dan diri ini senang. Peraturan cuma sekedar tulisan, engga lagi diindahkan. Hmm, dibuat indah sih falam bentuk tulisan, tapi ga ada yang memperhatikan.
Lalu saya bergumam, ‘kok bisa ya kayak gini?’, Mencoba berpikir sejenak dan merenung. Lalu muncul sebuah jawaban, egoisme. Hmm, mungkin Anda akan berpikir, ya iyalah egoisme udah jelas. Sikap ngebahayain orang lain juga udah suatu wujud egoisme. Nah, egoisme yang saya maksud di sini adalah egoisme yang berakar jauh di awal.
Singkatnya,
Sang pemimpin menginginkan kesenangan untuk dirinya dan mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cost seminimal mungkin. Dari situ muncul yang namanya tuntutan yang dibarengi “hukuman” seandainya gagal terlaksan terhadap bawahan. Dari tuntutan muncul tekanan. Dari tekanan itu, hati mulai terkikus. Tenggang rasa berkurang. Manusia menjadi egosentris. Hanya berpikir tentang, “Bagaimana cara aku menyelesaikan tuntutan ini.”.
Nah, itu lah yang berujung pada egoisme yang kedua. Yang menghasilkan kondisi sekarang ini.
Gimana mungkin bisa peduli sama lingkungan? Peduli sama sesama manusia aja sekarang udah susah.
—- to be continued —-